Muhammadiyah Bukan Pengikut Ibnu Taimiyyah

 

Semua orang mengakui kehebatan Ibn Taimiyah, bahkan sangat men-idolakanya, sampai-sampai lupa bahwa Ibn Taimiyah itu ternyata manusia biasa. Ibn Taimiyah di anggab sebagai pembaharu Islam, sampai-sampai kalangan cendikiawan Muhammadiyah meng-identifikasan bawa KH Ahmad Dahlan itu mengikuti pemikiran dan terpenggaruh pemikiranya.


Berbagai buku-buku klasik dan modern, selalu mejadikan Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Al-Afgani sebagai tokoh-tokoh sentral perubahan dan tajdid dalam islam. KH Ahmad Dahlan di anggab sosok pembaharu di Indonesia yang berusaha memurnikan ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW. KH Ahmad Dahlan di anggab sebagai penggerak utama di dalam mememerangi  kesyirikan, bidah (mengad-ngada), khurafat dan tahayyul. Yang terkenal dalam istilah orang Muhammadiyah dengan TBC (Tahayyul, Bidah, dan Khurafat).

Karena begitu kentalnya doktrin TBC kepada warga Muhammadiyah, sampai-sampai orang-orang yang masih bergumul dengan Islam Abangan tidak mendapat tempat di Muhammadiyah. Bahkan, orang-orang yang masih suka berziarah kubur, tahlilan, manakiban, tawassulan, membaca barzanji, dan maulidan juga di anggab mengikuti aliran TCB, dengan kata lain ahli Neraka

Padahal realitas di lapangan orang-orang Muhammadiyah terdiri dari empat kelompok (1) Islam Murni Pengikut setia KH Ahmad Dahlan (2) Munu (Muhammadiyah NU), (2) Munas (Muhammadiyah Nasionalis (4) Marmud (Muhammadiyah-Marhaenis).[1]
Kelompok yang pertama inilah yang bermasalah, artinya merasa paling benar, sesuai dengan ajaran Al-quran dan Hadis, sementara yang lain tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Karena pemahaman merasa lebih baik dan paling benar itu yang salah kaprah. Tidak heran jika kelompok lain yang mengikuti tahlilan, selamatan, istigosahan, maulidan dan membaca mauled Nabi SAW dikatakan sebagai ahli bidah.
Bahkan, sampai membaca lafadz Usolli sebelum takbiratul Ihram, dan membaca qunut subuh juga di anggab bidah (mengad-ngada), karena tidak diajarakan oleh Rosulullah SAW. Padahal KH Ahmad Dahlan sendiri itu juga melakukan maulidan, tahlilan, membaca Usolli, serta membaca qunut subuh. Ini jelas-jelas salah faham memahami ajaran yang islam.
KH Ahmad Dahlan memang dalam masalah gerakan islam sedikit terpenggaruh oleh bacaan-bacaan kitab-kitab dan majalah Al-Manar. Sebab, kondisi Nusantara waktu masih memang masih dalam gengaman Belanda. Bukan hanya KH Ahmad Dahlan, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH Hasyim Asaary juga berfikir dan membagun sebuah gerakan melawan Belanda agar umat Islam di Nusantara bisa merdeka, bebas menjalankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Bahkan, gerakan itu sudah di awali oleh ulama-ulama nusantara yang bermukim di Makkah. Mereka mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Madrasah Darul Ulum Al-Diniyah. Salah satu pendirinya ialah Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani di Makkah.
Dengan demikian, KH Ahmad Dahlan itu sangat toleransi terhadap budaya dan tradisi Jawa. Secara akidah dan madzhab beliau tidak berubah, yaitu  berteologi Abu Hasan Al-Asyaary dan mengikuti madzhab Al-Syafii, dan termasuk seorang sufi. Beliau juga ingin mencerdaskan umat islam Indonesia melalui pendekatan pendidikan formal, serta dunia kesehatan serta mempedayakan ekonomi.
Sedangkan jika di katakana jika KH Ahmad Dahlan terpenggaruh pemikiran Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh bisa dikatakan tidak sepenuhnya benar. Sebab, ajaran Ibn Taimiyah, yang kemudian menjadi sebuah gerakan Wahabi yang dipromotori langsung oleh Syekh Abdul Wahab itu ialah memurnikan islam dalam segi akidah. Sampai-sampai semua kitab akidah yang tidak sesuai dengan akidahnya Syekh Abdul Wahab di katakan keluar dari Al-Quran dan sunnah.
Jika melihat dari gerakan yang dilakukan oleh Syekh Abdul Wahab (wahabisme) yang akarnya dari Ibn Taimiyah, maka KH Ahmad Dahlan bukan termasuk di dalamnya. Sebab, KH Ahmad Dahlan juga sosok yang belajar dan mendalami tasawuf. Tasawuf bagi Ibn Taimiyah dan kaum Wahabisme merupakan sumber kesesatan. Pada ahirnya, Ibn Taimiyah itu ahirnya bertoubat dari apa yang selama itu diyakini dan di ajarkan kepada masyarakat waktu itu.
Beberapa fatwa Ibn Taimiyah yang kontroversi, sekaligus menyulut kemarahan ulama-ulama waktu antara lain:’
  • Allah itu memiliku muka.
  • Allah itu duduk bersila di atas arsy.
  • Allah itu ada di atas, boleh di tunjuk dengan telunjuk.
  • Allah itu berjalan di atas awan.
Terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah SWT di dalam Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW tidak boleh di ta’wil. Dan barang siapa mentakwil atau mentafsir ayat Allah SWT, orang itu tersesat, dikutuk, dan harus bertaubat kepada Allah SWT.
Ibn Batutah dalam sebuah lawanya, yang terkenal dalam kitab Rihlan Ibn Batutah, beliau pernah menceritakan:’’suatu ketika saat aku berada di Dimask (Damaskus), tepatnya pada hari jumat. Ibn Taimiyah sedang pidato di atas mimbar Masjid Damsyik (Damasukus), di antara ucapanya dikatakan Tuhan Allah turun kelangit dunia tiap-tiap malam, seperti turunya saya ini, lalu ia turun dari Mimbar’’.
Kebetulan waktu itu hadis seorang ulama  fikih yang bernama Ibnu Zahra’ mendebat Ibn Taimiyah, karena menyerupakan Allah SWT dengan dirinya ketika turun dari Mimbar Masjid.Tetapi murid-murid Ibn Taimiyah memukul Ibn Zahra dan membawanya ke Qohi Izzudin Ibn Muslim (hakim agung) untuk melaporkan tindakan Ibn Zahra’. Qodhi Izzudin adalah hakim dalam madzab Ibn Hambali, sama dengan madzhabnya Ibn Taimiyah.
Selanjutnya, Qodhi Izzudin menghukum Ibnu Zahra dan memasukkan ke dalam penjara dalam beberapa hari. Melihat Ibn Zahra di penjara, para ulama fikih bermadzhab Syafii dan Maliki memprotes keputusanya. Lanatas ulama-ulama fikih di atas membawa perkara ini pada seorang Raja Besar yang bernama Saifuddin Tankiz.
Ibnu Batuthah mengatakan”’raju itu orang baik’’. Raja itu memerintahkan kepada Raja Nastir di Kairo agar supaya membawa Ibn Taimiyah kepengadilan tinggi, karena fatwanya dalam agama banyak yang salah.
Lebih lnjut lanjut lagi Ibnu Batuthah menceritakan bahwa fatwa Ibn Taimiyah ialah bahwa talaq tiga yang dijatuhkan sekaligus jatuh satu, dan ziarah ke Madinah ke Makam Nabi Muhammad adalah maksiat (mungkar) dll.
Atas dasar itulah kemudian Ibn Taimiyah dipenjara di Dimask (Damaskus) sampai beliau memenuhi ajalnya, pada tahun 27 syawwal 728 H.[2]
Prof.Dr. Hasan Hetto ulama Ahlussunnah Wal Jamaah ketika sedang melakukan Daurah Al-Tasqif Al-Syari lil Ulum Al-Islamiyah lil Baniin bi Indonisia (3-16 Juli 2006), Beliau pernah menceritakan bawa dirinya memiliki tulisan tangan tangan seputar taubatnya Ibn Taimiyah. Ucapan beliau saya perhatikan dan kemudian saya cari bagaimana tulisan seputar taubatnya Ibn Taimiyah.
الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.
(كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة.
Artinya:’’ Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt ” الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama’ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama’ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah I ni adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku gtulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan “Telah menulisnya :
(Ahmad Ibnu Taimiyyah)
Kamis, 6 Rabiul Awwal 707Hijriyah.
Begitulah penjelasan dari Dr. Hasan Heto seputar taubatnya Syekh Ibn Taimiyah. Dengan demikian, KH Ahmad Dahlan tahu yang mana harus di ikuti dalam ber-teologi, bermadhab, serta bagaimana ber-tasawuf sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Adappun sikap yang dilakukan KH Ahmad Dahlan di dalam memberantas TBC, KH Ahmad Dahlan tahu betul makna Tahayyul, Bidah, Khurafat, karena beliau ahli bahasa Arab dan betahun-tahun belajar kepada Syekh Sholih Darat, Sayed Abu Bakar Shata, Syehk Ahmad Khatib Minangkabawi. Jangan salah kaparah memahami pemurnian islam secara sempit, karena KH Ahmad Dahlam ulama yang berkualitas ilmu dan spritualnya.

Muhammadiyah Bukan Pengikut Ibnu Taimiyyah 4.5 5 Imam Ali Fahmi Semua orang mengakui kehebatan Ibn Taimiyah, bahkan sangat men-idolakanya, sampai-sampai lupa bahwa Ibn Taimiyah itu ternyata manusia bi...


J-Theme